Senin, 14 November 2011

Remaja Sebagai Subkultur

REMAJA SEBAGAI SUBKULTUR

A.      Masyarakat Transisi

Salah satu ciri masyarakat Indonesia tempat sebagian besar remaja kita tinggal adalah masyarakat transisi yang sedang beranjak dari keadaan yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern. Hanya sebagian kecil remaja, yaitu yang tinggal dimasyarakat yang belum terjangkau prasarana komunikasi (misalnya dikalangan suku terasing, atau dipedesaan terisolir), yang masih hidup dialam yang benar-benar masih tradisional. Sebagian besar remaja yang lain, apalagi yang tinggal di kota-kota besar, sudah jelas harus berhadapan dengan masyarakat yang sedang dalam keadaan transisi.
Masyarakat transisi ini dalam istilah J. Useem dan R.H. Useem (1968:144) dinamakan modernizing society. Masyarakat seperti ini berbeda dari tradition oriented society (masyarakat tradisional) dan modern society (masyarakat modern). Dikatakannya bahwa ciri masyarakat tradisional adalah mencoba mengekalkan nilai-nilai dari masa lalunya ke masa depan dengan cara mempraktikkan terus adat-istiadat, upacara-upacara, dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku sejak nenek moyang mereka.
Masyarakat transisi, menurut Useem & Useem adalah masyarakat yang sedang mencoba untuk membebaskan diri dari nilai-nilai masa lalu dan menggapai masa depan dengan terus-menerus membuat nilai-nilai baru atau hal-hal baru.
Bergesernya tatanan masyarakat itu menurut Allan Scheneiberg (1980:144) disebabkan antara lain oleh teknologi itu sendiri yang pada hakikatnya mengandung sifat menimbulkan masalah pada lingkungannya jika digunakan secara meluas. Masyarakat tidak dapat mengubah dirinya dengan cepat untuk mengimbangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh teknologi. Masyarakat yang modern digambarkan oleh Useem & Useem sebagai masyarakat yang bertatanan luas, dengan berbagai sistem nilai yang secara terbuka dinyatakan ada dan orang bebas memilih sistem nilai mana yang akan dianut.
Sebagai konsekuensi dari kondisi masyarakat modern yang dikemukakan Useem & Useem tersebut manusia-manusia modern di katakan juga mempunyai sifat-sifat yang khusus J.A. Kahl (1968:133) mencoba merumuskan ciri-ciri manusia modern ini dan ia mengemukakan pendapat sebagai berikut ini “seorang manusia modern adalah seorang yang aktif”.

B.       Remaja dan Masyarakat Transisi
Keadaan masyarakat transisi seperti yang diuraikan di atas oleh Emile Durkheim dikatakan akan membawa individu anggota masyarakat kepada keadaan anomie. Anomi menurut Durkheim adalah normlessness yaitu suatu sistem sosial di mana tidak ada petunjuk atau pedoman buat tingkah laku. Jadi adalah keadaan eksternal seperti dalam keadaan hukum rimba yang terdapat dalam masyarakat yang tiba-tiba dilanda perang. Kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan yang biasa berlaku tiba-tiba tidak berlaku lagi. Akibatnya adalah “individualism” dimana individu-individu bertindak hanya menurut kepentingan masing-masing (Durkheim, 1951).
Akan tetapi selanjutnya Merton mengatakan bahwa disamping mereka yang bersikap conform terhadap nilai dan norma, ada orang-orang yang menentang (bertingkah laku deviant atau menyimpang) nilai atau norma itu atau kedua-duanya. Tingkah laku menentang ini oleh Merton digolongkan ke dalam 4 jenis:
1.      Innovation, yaitu tingkah laku yang menyetujui nilai tetapi menentang norma.
2.      Ritualism: yaitu tingkah laku yang menolak nilai-nilai tetapi menerima norma.
3.      Retreatism: reaksi nonkonformis jenis ini oleh Merton menyatakan sebagai pengingkaran terhadap nilai maupun norma.
4.      Rebellion: sama halnya dengan retreatism, tebellion atau pemberontakan ini juga menolak nilai dan norma.

C.      Remaja Sebagai Anggota Keluarga    
Kiranya tidak dapat diingkari lagi bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak ia lahir sampai datang masanya ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga mandiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga.
Maka kita dapat menyaksikan tindak-tanduk orang suku tertentu yang berbeda dari suku lainnya dan di dalam suku tertentu itupun pola perilaku orang yang berasal dari kelas sosial atas berbeda dari yang kelas sosial bawah. Demikian pula agama dan pendidikan bisa mempengaruhi kelakuan seseorang. Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka, turun-temurun.
Tidak mengherankan kalau ada pendapat bahwa segala sifat negative yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya. Bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses sosialisasi.
Dipihak lain orang tua pun menghadapi berbagai nilai alternatif. Ia ingin bertindak otoriter terhadap anaknya, karena ia mendidik seperti itu oleh orang tuanya sendiri, tetapi kenyataannya anak tidak bisa di didik secara keras seperti itu. Tetapi orang tua berpikir lagi, kalau ia melonggarkan cara mendidiknya, dikhwatirkan anaknya akan menjadi manja dan tidak disiplin.
Tetapi terlepas dari keadaan para orang tua pada umumnya yang memang menghadapi masalah karena adanya berbagai perkembangan dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap kehidupan keluarga, dalam masyarakat manapun ada saja orang tua tertentu yang memang tidak bisa mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik.

D.      Remaja di Sekolah

Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah bersekolah, maka lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah sekolahnya. Anak remaja yang sudah duduk dibangku SLTP atau SLTA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja cukup besar.
Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja, karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di samping  mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya.
Salah satu faktor yang sering dianggap menurunkan motivasi siswa remaja untuk belajar adalah materi pelajaran itu sendiri dan guru yang menyampaikan materi pelajaran itu. Mengenai materi pelajaran sering dikeluhkan oleh para siswa sebagai membosankan, terlalu sulit, tidak ada manfaatnya untuk kehidupan sehari-hari, terlalu banyak bahannya untuk waktu terbatas, dan sebagainya. Akan tetapi lebih utama dari faktor materi pelajaran, sebenarnya adalah faktor guru.
Walaupun demikian, faktor yang mempengaruhi di sekolah bukan hanya guru dan sarana serta prasarana pendidikan saja. Lingkungan pergaulan antarteman besar pengaruhnya. Namun tentu saja tidak semua orang tua bisa memilih lingkungan sekolah yang aman untuk anaknya. Seringkali juga sebuah sekolah sudah berpuluh tahun berdiri di suatu lokasi yang ideal, tetapi perkembangan kota yang terjadi pada tahun-tahun terakhir telah mendorong lokasi itu menjadi pusat keramaian. Memang tidak dapat diingkari bahwa pengaruh lingkungan masyarakat terhadap perkembangan jiwa remaja sangat besar, akan tetapi bagaimanapun keluarga dan sekolah masih tetap merupakan lingkungan primer yang sekunder dalam dunia anak dan remaja. Lingkungan masyarakat hanyalah lingkungan tersier (ketiga) yang derajat kekuatannya untuk merasuk ke dalam jiwa anak dan remaja seharusnya tidak sekuat keluarga dan sekolah.

E.       Remaja dalam Masyarakat      
Masyarakat sebagai lingkungan tersier (ketiga) adalah lingkungan yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banyak menawarkan pilihan. Terutama dengan maju pesatnya teknologi komunikasi massa maka hampir-hampir tidak ada batas-batas geografis, etnis, politis maupun sosial antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Pengaruh lingkungan pada tahapnya yang pertama diawali dengan pergaulan dengan teman. Pada usia 9-15 tahun hubungan perkawanan merupakan hubungan yang akrab yang diikat oleh minat yang sama, kepentingan bersama dan saling membagi perasaan, saling tolong-menolong untuk memecahkan masalah bersama.
Kuatnya pengaruh teman ini sering dianggap sebagai biang keladi dari tingkah laku remaja yang buruk. Selain pengaruh dari teman faktor kepribadian sendiri dan sistem pendidikan diuraikan di atas. Kondisi sosial-ekonomi keluargapun ternyata berpengaruh pada kegiatan remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar